Afrizal
Afrizal
  • Jun 15, 2022
  • 6093

Rendang Babi, Pesan untuk yang Asal Bicara

Rendang Babi, Pesan untuk yang Asal Bicara
DR. Gamawan Fauzi Datuak Rajo Nan Sati, SH

SUMBAR, - Setelah ribut masyarakat asal Minangkabau memprotes masakan rendang daging babi yang dijual sebuah restoran bermerk restoran Padang, muncul tanggapan dari berbagai kalangan.

Ada dari ahli kuliner, ahli sosiologi sampai kepada ahli ekonomi pemasaran, bahkan sampai seorang yang bergelar Gus, yang suka nyeleneh dengan soal soal Islam.

Tanggapan tersebut melebar kemana - mana dan menjangkau hal-hal yang tidak dipermasalahkan secara substansial oleh masyarakat Minang.

Tapi biasalah, kadang supaya ingin terkenal, seperti kelakuannya selama ini, mereka ikut nimbrung meramaikan.

Salah satu di antaranya adalah komentar seorang bergelar Gus yang mempertanyakan, sejak kapan rendang punya agama?

Dia mempertanyakan sesuatu yang tak dikatakan orang. Orang ke mudik dia ke hilir, tapi demi sekadar berbeda, dia ikut pula bicara, tapi bicara yang menyakitkan orang Minang, walau di awal ucapannya, dia mengutip ayat Al Quran, tentang perintah Allah untuk memakan makanan yang baik dan halal.

Saya menyimak semua tulisan, komentar dan pendapat tokoh-tokoh Minang. Pada umumnya suara mereka sama, pandangannya pun serupa dan yang menjadi keberatan mereka pun tak beda.

Persoalannya, berangkat dari hal hal yang sangat prinsip bagi masyarakat Minang.

Semua tahu, rendang adalah masakan Minang, sama halnya dengan gudeg masakan Yogya atau rica - rica masakan Manado atau pempek masakan Palembang, Sumatera Selatan dan berbagai ragam jenis makanan daerah lainnya se Nusantara.

Kalaupun ada negara lain yang mengaku-ngaku punya produk rendang, itu hanya soal hukum merk, soal daftar - mendaftar kepada lembaga yang berwenang saja, soal bisnis, soal mencari keuntungan dari peluang yang tersedia, bukan ikhwal asal muasal, soal siapa atau masyarakat mana sesungguhnya pemilik produk yang sah tersebut.

Saya kira dalam hati dan pikiran kita semua, termasuk mereka yang berbisnis di negara lain, sebenarnya tahu rendang bukanlah karya asal mereka, itu jelas masakan Padang atau Minangkabau.

Soal rendang itu masakan khas Minang, sudah bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak, dan semua mengakuinya.

Masakan itu terkait dengan keyakinan, apa yang akan dimakan, bagi masyarakat Islam tentu tak punya basis masakan yang bahan makanannya di haramkan oleh agama sebagai keyakinan mereka. Itulah sebabnya selama ini, masakan padang identik dengan sesuatu yang halal, atau tegasnya pasti halal. Tanpa label halal pun pasti halal.

Itulah sebabnya selama ini , ketika seorang Muslim yang hendak makan dan mereka ragu tentang kehalalan produk restoran, mereka akan memilih restoran Padang, karena pasti halal, tanpa harus bertanya soal halal haram dan tanpa label halal haram,

Merusak citra

Munculnya restoran BABIAMBO yang memasak rendang daging babi, sungguh merusak citra dan image konsumen akan rendang yang selama ini pasti halal.

Mencari uang silahkan saja, mau berinovasi juga tidak ada yang melarang, tapi jangan mengganggu sesuatu yang sudah baku, mengganggu milik etnik yang sudah selama ini melekat dengan produk masakannya.

Dalam dunia bisnis dewasa ini, hampir semua produk dapat ditiru, bahkan dicuri teknologinya, berbagai merk palsu bermunculan, merambah hampir semua produk yang punya pasar bagus. Mulai dari pulpen, jam tangan dan berbagai barang barang elektronik ada kw kw nya, apalagi rendang.

Rendang memang produk yang amat laku, sehingga CNN menetapkan rendang sebagai makanan terlezat di dunia tahun 2011, bahkan gelar itu bertahan selama 9 tahun berturut turut hingga 2019 yang lalu . Bahkan ada yang menyebut pantas diberi penghargaan Guiness Book Record.

Karena itu sesungguhnya rendang sangat rawan untuk dicaplok sebagai produk industri makanan dunia. Kabarnya saat ini sebuah negara Eropa telah memproduksi rendang besar-besaran dalam bentuk packaging modern yang akan merambah pasar dunia.

Lalu hukum apa yang dapat melindungi produk etnik Minang ini ? Hukum kadang belum bisa berlaku adil, mungkin tidak di dunia. Hanya kepada Tuhan semua dikembalikan, karena hanya Tuhan pula yang benar-benar adil seperti dinukilkan dalam surat At Tin, Alaishalahubiah kamil hakimin.

Pebisnis dimanapun, bisa bayar ahli masak rendang yang enak dengan gaji besar. Setelah ilmunya didapat, kemudian membuang orang yang mengajarnya, karena bisnis seringkali memang kejam dan tak bermoral.

Orientasinya sederhana, hanya dapat untung sebanyak banyaknya.

Rendang bukan sekadar produk industri makanan. Pada rendang itu melekat tradisi dan etnik yang bernama Minangkabau.

Menyebut rendang, tidaklah sekadar menamai sebuah produk industri makan, tapi menyasar hasil karya suku bangsa yang bernama Minangkabau, sedangkan Minangkabau itu adalah sebuah suku bangsa yang menganut falsafah Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah (ABS-SBK). Maka produk masakannya pun takkan pernah mengandung sesuatu yang dilarang Kitabullah ( baca - Qur’an ), atau yang disebut dengan haram.

Silakan cari dan telusuri, apakah ada masakan Minang/ Padang selama ini yang tak halal ?

Oleh karenanya, kalau ada yang seorang ahli agama mempertanyakan sejak kapan rendang punya agama, maka itu pertanyaan yang amat dungu, bahasa pasar di Minangkabau disebut dengan istilah ” ongok raya “, atau kelewatan gak ngertinya. Dan, sebagai makhluk berakal, saya sarankan Anda sebaiknya banyak membaca dan belajar sebelum bicara. Jangan asal berkomentar bila tak paham. Apalagi sekadar ingin berbeda/ membelintang.

Pada tulisan sebelumnya, saya sudah sampaikan, tak semua kehidupan manusia bisa diatur oleh hukum. Pemikiran dan tingkah laku manusia yang begitu dinamis, tak mampu hukum menjawabnya seketika. Hukum yang bersifat kaku, seringkali terlambat mengantisipasi tingkah laku dan pikiran manusia.

Karena itulah dikenal adanya etik, moral dan fatsoen, kepatutan dan kepantasan, supaya pergaulan manusia tetap harmonis.

Bagi orang orang yang ingin memakan daging babi, silakan saja. Silahkan masak dengan cara apapun, tapi jangan sebut rendang, karena yang namanya rendang sebagai masakan etnik Minangkabau, pasti halal dan harus halal, seperti rendang paru, rendang daging sapi, rendang lokan, rendang pakis dan rendang rendang lainnya yang kini berkembang, tapi semuanya tetap halal.

Pemda DKI dan polisi tampaknya sangat paham dengan itu, karenanya saya memberikan apresiasi yang tinggi akan ke sigapannya.

Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, paham benar ranting yang akan menusuk dan dahan yang akan menghimpok/ jatuh, tahu benar hal hal yang akan dapat menimbulkan keresahan sosial dalam masyarakat kita yang majemuk, sehingga langsung memanggil pemilik restoran BABIAMBO itu ketika beritanya muncul di media sosial.

Sejak semula, saya sudah menduga bahwa si pemilik restoran BABIAMBO, pasti tak paham dengan hal-hal yang saya kemukakan ini, dia sekadar manusia yang mencari uang dengan mangaku berinovasi.

Tapi janganlah pula ada yang lain ikut nimbrung melukai hati masyarakat Minang, dengan mencari-cari pembenarannya dengan argumen yang dibuat buat .

Bagi masyarakat Minang, tentu semua ini ada hikmahnya. Kilek baliwuang lah ka kaki, kilek camin lah ka muko. Gabak di hulu tando kan hujan, cewang di langik tando kan paneh.

Tumbuah di hari sarupo kini nan ko, saatnya untuk berbenah, mencari akal untuk melindungi hal hal yang pantas dilindungi. Jangan sampai terjadi, jalan dialiah urang lalu, cupak diganti urang manggaleh. Lah luluih mako balantai, lah anyuik mangko bapinteh .

Langkah semacam itu bukanlah berarti etnik sentris, justeru bagian dari tindakan membela Indonesia, karena bukankah Minangkabau adalah juga kekayaan Nusantara ? Bahkan yang disebut budaya bangsa itu adalah puncak puncak budaya daerah.(**)

Penulis :
Bagikan :

Berita terkait

MENU